Pengucapan Syukur Minahasa Raya Serentak 25 September, Ini Tradisi dan Sejarahnya
MANADO, iNews.id - Tahun 2022 menjadi spesial bagi warga Sulawesi Utara. Karena di tahun ini, pelaksanaan Tradisi Pengucapan Syukur akan digelar secara serentak se-Sulawesi Utara pada Minggu (25/9/2022) besok.
Gelaran pengucapan syukur ini sekaligus masih dalam momentum merayakan HUT ke-58 Provinsi Sulut yang jatuh pada 23 September.
Dalam pelaksanaannya, wilayah yang masih memegang teguh tradisi ini tersebar di tujuh kabupaten/kota meliputi Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Minahasa Utara, Kota Manado, Kota Bitung dan Tomohon.
Sulawesi Utara bukan hanya memiliki keindahan alam yang menakjubkan, tetapi juga punya keragaman seni dan budaya dari berbagai suku. Minahasa sebagai salah satu suku yang terbesar di Sulawesi Utara memiliki salah satu kebiasaan atau adat yang mirip dengan Thanksgiving ala Amerika yaitu pengucapan syukur.
Istilah pengucapan dulunya dipakai sebagai ungkapan hari sesudah panen besar yang dilakukan etnis-etnis di Minahasa. Mereka merayakannya dengan berbagi hasil panen kepada keluarga atau kerabat terdekat dengan menikmatinya bersama-sama.
Namun sekarang, acara Pengucapan dilakukan di gereja dan kemudian dilanjutkan di rumah bersama dengan keluarga dan kerabat.
Dari sisi sejarah masyarakat Toumbulu, pengucapan berasal dari tradisi Foso Rummages. Istilah foso memiliki arti sebagai ritual dan rummages merupakan bahasa tua Minahasa yang berasal dari kata rages, yang berarti persembahan yang diberikan dengan ketulusan hati untuk Tuhan.
Sementara dari masyarakat Toubantik mengenal sistem Poposaden yang berarti gotong-royong. Biasanya keluarga atau kerabat dekat akan pergi bersama-sama memanen hasil kebun tersebut, kemudian hasilnya akan dibagi-bagi kepada keluarga maupun kerabat dekat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas berkat yang melimpah.
Setelah masuknya pengaruh agama Kristen pada masyarakat Minahasa, maka ritual-ritual sudah tidak lagi dilakukan kebanyakan orang. Namun nilai-nilai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hari panen masih melekat sehingga warga desa akan membawa makanan atau hasil pertanian mereka ke geraja, lalu masyarakat akan duduk dan makan bersama.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan, setiap kali suatu wilayah mengadakan pengucapan, maka keluarga ataupun kerabat yang berada jauh di kabupaten atau kota lainnya tetap diajak untuk datang berkunjung untuk merayakan pengucapan.
Di era sekarang ini, tradisi pengucapan syukur mulai bertransformasi sebagai suatu acara pesta makan yang diadakan di halaman gereja dan di rumah-rumah. Berbagai olahanan makanan dari masyarakat disatukan di meja panjang dan kemudian dimakan bersama termasuk juga tamu yang datang dari jauh.
Hal ini menjadi simbol penegas agar masyarakat desa selalu berbagi berkatnya dengan orang lain.
Setelah acara di gereja selesai, warga kemudian kembali ke rumah untuk bersiap menjamu keluarga ataupun kerabat. Hal yang lebih spesial lagi adalah para tamu yang bahkan tidak dikenal bisa berkunjung dan mencicipi makanan yang telah disediakan tuan rumah.
Acara Pengucapan merupakan suatu kebiasaan adat yang spesial sebab selain mengucapkan syukur kepada Tuhan, namun juga menyimpan makna sebagai hari berkumpul dengan keluarga di kampung halaman.
Tahun ini pengucapan syukur begitu spesial setelah dua tahun terakhir hanya digelar kecil-kecilan karena adanya pandemi Covid-19. Bahkan lebih spesial lagi, acaranya digelar serentak se-Sulut sehingga semua masyarakat turut merayakannya.
Pada dasarnya, hari pengucapan syukur adalah hari untuk mengucap syukur kepada Tuhan yang disimbolkan dengan jamuan makan bersama antara keluarga, kerabat, sahabat dan handai tolan. Semua berpesta dan bergembira ria dalam persaudaraan karena torang samua basudara, torang samua makhluk ciptaan Tuhan.
Editor: Donald Karouw