Cerita Hubungan Leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe, Legenda Migrasi Pangeran Mindanao
SANGIHE, iNews.id - Cerita hubungan leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe dinilai banyak kalangan begitu kuat. Salah satu alasannya penduduk asli sangihe merupakan warga yang menghuni rangkaian kepulauan antara Sulawesi Utara dan Mindanao, Filipina.
Mengutip dari buku Sastra Lisan Sangir Talaud dari Kemendikbud, kata Sangir berasal dari kata Zanger dalam bahasa Belanda yang memiliki arti penyanyi. Warga di daerah tersebut dianggapnya sebagai warga yang gemar menyanyi.
Kemudian di situs pemerintah Kabupaten Sangihe mengutip berbagai sumber juga menulis arti nama Sangihe. Dijelaskan bahwa Sangi dan He berawal dari kisah perjalanan jauh Gumansalangi bersama istri dan rombongannya melalui laut luas dan ganas dari Pulau Manado.
Perjalanan yang penuh dengan risiko dan bahaya itu membuat sejumlah anggota rombongan menangis terisak-isak karena ketakutan.
Dalam perjalanan yang jauh dan berbahaya itu, lunas perahu yang mereka naiki kandas dan melintang di sebuah pulau. Peristiwa melintangnya lunas perahu, terpaan badai dan ombak dalam pelayaran yang jauh dan menguras air mata itu mengilhami Gumansalangi dan rombongannya menamai pulau tempat mereka melabuhkan perahu dengan nama Sangihe.
Nama Sangihe disematkan berdasarkan peristiwa yang mereka alami selama dalam pelayaran tersebut, yakni penuh tangis (sangi) dan suara tangisan tersedu-sedu (he). Gabungan kata sangi dan he itulah kemudianmenjadi Sangihe yang artinya suara isak tangis.
Informasi lain juga menyebutkan, Sangihe merupakan gabungan dari kata Sangiang dan ihe. Kata Sangiang disingkat Sang, lalu dirangkai dengan ihe, sehingga menjadi Sangihe. Sangiang adalah nama istri Gumansalangi.
Cerita hubungan leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe dalam sumber lain dijelaskan seorang ahli bernama Brouwer. Dia mengatakan bahwa penduduk Sangihe dan Talaud tidak dapat ditentukan secara pasti dari mana asalnya.
Brouwer menduga keras mereka berasal dari Filipina dan juga sebagian ada yang berasal dari Sulawesi Utara. Dugaan Brouwer ini didasarkan pada adanya kesamaan yang terdapat dalam bahasa yang dipakai di daerah Sangir dan Talaud. Bahasa di Sangir dan Talaud mempunyai banyak kesamaan, baik dengan yang ada di Filipina maupun dengan yang ada di Sulawesi
Utara.
Sementara itu, cerita hubungan leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe yang diceritakan Rizky Kusumo dalam Good News From Indonesia menjelaskan perjalanan suku bangsa Sangihe Talaud, di Provinsi Sulawesi Utara, sejak lama percaya nenek moyang mereka berasal dari Filipina Selatan lewat migrasi ribuan tahun silam.
Bahkan yang terakhir, tokoh Gumansalangi, kulano tua pendiri kedatuan Tampunganglawo (Sangihe) disebut sebagai seorang pangeran dari Mindanao, Filipina.
Gumansalangi katanya adalah legenda, mitos, sekaligus sejarah. Dikisahkan pada abad ke XII, Sultan Kotabato, Mindanao Selatan (Filipina) memerintahkan putra Mahkota, Gumansalangi, berlayar ke arah timur (Nusantara) untuk mendirikan kerajaan di sana.
Gumansalangi melakukan pelayaran kembali dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanao-Filipina), kemudian balik ke Pulau Sangir–Kauhis dan mendaki Gunung Sahendarumang.
Mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada periode selanjutnya melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Tokoh Gumansalangi sudah diceritakan berabad-abad lamanya di Kepulauan Sangihe melalui cerita lisan dari generasi kegenerasi secara turun-temurun. Sejak masuknya bangsa Eropa, cerita Gumansalangi mulai ditulis oleh para budayawan, sejarahwan, dan pemerhati sejarah dan kebudayaan Sangihe lainnya dalam bentuk tulisan-tulisan lepas.
Dikutip dari Sangihekab.go.id, cerita Gumansalangi pertama kali diterjemahkan Desember 1993 di Biola University (Los Angeles). Kisah terbaru ditulis oleh Kenneth R Maryott, seorang berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di Filipina dalam sebuah buku yang berjudul Manga w?keng Asa? ‘u Tau Sangih?''.
Cerita tersebut ditulis berdasarkan penuturan dari Haremson E. Buku tersebut ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Sangihe, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Namun seperti cerita rakyat umumnya, banyak ditemukan cerita Gumansalangi dalam versi lain. Pasalnya belum ditemukan bukti melalui naskah kuno atau prasasti yang menulis atau memberikan gambaran tentang kehidupan Gumansalangi.
Lalu pendapat Pitres Sombowadile, penulis dan pemerhati masalah perbatasan di Sulawesi Utara, dalam sebuah artikelnya menceritakan adanya pertalian erat antara orang-orang Sangihe Talaud dan orang-orang Filipina Selatan, terutama dengan keberadaan Suku Bangsa Sangil di Mindanao yang berbahasa Sangihe.
Pertalian erat itu terjadi dampak dari keberadaan Pulau Sangihe yang dekat dengan Filipina, tercatat kurang lebih 7.483 orang Sangihe-Talaud yang bermukim di wilayah Republik Filipina. Mereka ada yang tinggal di Provinsi South Cotabato, Davao del Sur, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga, Cotabato City, Davao Oriental, Samal Island di Provinsi Davao, dan Davao City.
Meski demikian terbanyak dari mereka yang menetap di wilayah Filipina yakni berada di Pulau Balut dan Sarangan. Di daratan Filipina, orang Sangihe dan Talaud dikenal dengan beberapa sebutan seperti Sangir, Sangil, Marore, dan Indonesia.
Demikian sekilas cerita Hubungan Leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe yang memiliki sejarah panjang tersebut.
Editor: Cahya Sumirat