Peninggalan Budaya Suku Minahasa Bernama Waruga, Rumah Tempat Raga Kembali ke Surga
MINAHASA, iNews.id - Peninggalan budaya suku Minahasa yang mudah dijumpai hingga saat ini yakni waruga. Waruga atau kuburan tua merupakan peti kubur peninggalan zaman megalitikum orang Minahasa.
Menurut catatan sejarah, seperti dikutip Samratulangi-airport, waruga berasal dari bahasa Tombulu, yakni dari kata Wale Maruga yang berarti rumah dari badan yang akan kering. Sedangkan dalam arti lainnya, yakni Wale Waru atau Kubur dari Domato (jenis tanah lilin).
Makna yang tidak jauh berbeda juga tertulis di cagarbudaya.kemdikbud. Nama waruga berasal dari kata waru dan ruga. Waru berarti rumah, sedangkan ruga berarti badan. Dengan demikian, waruga dapat dimaknai sebagai rumah tempat raga kembali ke surga.
Namun yang pasti, waruga atau bisa disebut juga dengan makam leluhur merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Indonesia yang berada di Sulawesi Utara (Sulut) tepatnya Minahasa.
Diketahui, daerah Sulut berkembang pada awal abad ke-13 SM. Tetapi kemunculannya di tafsir pada sekitar abad ke-16 pertengahan.
Tetapi umur waruga ini tidak dapat dipastikan, karena bangsa Minahasa pada saat itu belum mengenal tulisan. Meski demikian berdasarkan berbagai sumber, waruga telah ada sebelum zaman Kristenisasi atau sebelum abad 16 Masehi.
Peninggalan budaya suku Minahasa bernama waruga ini, pertama muncul di daerah bukit Kelewer, Treman dan Tumaluntung Kabupaten Minahasa Utara (Minut) dan terus berkembang di berbagai daerah di Sulut hingga awal abad 20 Masehi.
Dalam catatan lain, waruga yang menjadi sarana pemakaman dari masa megalitikum ini kemungkinan besar digunakan hanya sampai abad 19. Hal ini disebabkan sekitar tahun 1860 pemerintah Hindia Belanda melarang penggunaan waruga.
Orang-orang suku Minahasa menggunakan waruga sebagai sarana pemakaman dengan menempatkan jenazah seperti posisi bayi saat dalam rahim ibu.
Kemudian, jenazah yang telah ditempatkan pada waruga dihadapkan ke arah utara sebagai tanda bahwa para leluhur orang Minahasa berasal dari utara.
Waruga terdiri atas dua bagian, yaitu bagian badan dan bagian tutup. Bagian badan berbentuk kubus sedangkan bagian tutup berbentuk menyerupai atap rumah. Waruga berfungsi sebagai wadah penguburan mayat atau orang yang sudah meninggal.
Pada zaman pra-sejarah masyarakat Minahasa percaya betul jika roh leluhur memiliki kekuatan magis, sehingga wadah kubur mereka harus dibuat sebaik dan seindah mungkin.
Hal yang menarik adalah ternyata waruga itu dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggal. Ketika orang itu akan meninggal maka dia dengan sendirinya akan memasuki waruga yang dibuatnya itu setelah diberi bekal kubur yang selengkapanya. Kelak bila itu dilakukan dengan sepenuhnya akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat yang di tinggalkan.
Di Sulut, banyak lokasi yang memiliki waruga. Lokasi itu disebut sebagai situs karena mengandung benda cagar budaya. Pada saat ini situs-situs itu banyak terdapat di perkampungan atau ladang penduduk.
Kompleks waruga sekarang ini sering juga disebut orang sebagai Minawanua, Makawale atau bekas kampung. Sesuai dengan kepercayaan masyarakat pra-sejarah, situs-situs itu kebanyakan berada di daerah ketinggian.
Situs waruga di Minahasa khususnya di Kabupaten Minahasa Utara, antara lain terdapat di Desa Treman (368 waruga), di Desa Sawangan (144 waruga), Desa Airmadidi Bawah (80an waruga) dan juga disekitar Desa Kaima.
Kemudian di Desa Kauditan, Desa Tumaluntung, Desa Matungkas, Desa Laikit, Desa Likupang, Desa Kawangkoan Kuwil, Desa Sukur, Desa Suwaan, dan ada juga di tempat lain di Kabupaten Minahasa.
Bentang alam Kabupaten Minahasa Utara ini merupakan lembah alluviasi batuan dasar tufa. Lembah alluviasi itu terbentuk oleh material hasil pengikisan lereng gunung Klabat. Gunung berapi inilah yang menyediakan bahan batuan untuk membuat waruga.
Di dalam waruga (peti kubur batu) ini akan ditemukan berbagai macam jenis benda, antara lain berupa tulang- tulang manusia, gigi manusia, periuk tanah liat, benda-benda logam, pedang, tombak, manik-manik, gelang perunggu, piring, dan lain-lain.
Dari jumlah gigi yang pernah ditemukan di dalam waruga, diduga peti kubur ini adalah merupakan wadah kubur untuk beberapa individu atau waruga bisa juga dijadikan kubur keluarga (common tombs) atau kubur komunal.
Benda- benda seperti periuk, perunggu, piring, manik-manik serta benda lain sengaja disertakan sebagai bekal kubur bagi orang yang akan meninggal.
Dahulu waruga tidak dimiliki oleh semua orang suku Minahasa namun hanya sebagian orang saja, khususnya yang memiliki kelas sosial tinggi.
Begitu pula dengan mulai menularnya berbagai penyakit yang berasal dari pembusukan mayat di dalam waruga, seperti kolera dan tipus.
Di Desa Sawangan contohnya, pada saat itu kepala desa memerintahkan untuk mengumpulkan waruga untuk diletakkan di pinggir desa agar warga dapat terhindar dari penyakit yang ditularkan.
Masyarakat suku Minahasa kemudian mulai mengenal peti mati untuk sarana pemakaman yang ditanamkan dalam tanah. Penggunaan peti mati juga tidak terlepas dari pengaruh penyebaran agama Kristen di Sulut.
Demikianlah salah satu peninggalan budaya suku Minahasa yang mudah dijumpai hingga saat ini yakni waruga yang dijadikan sebagai cagar budaya.
Editor: Cahya Sumirat