"Padahal nyatanya, dengan dua kali gugatan perdata, ada surat yang masuk ke pemerintah setempat yakni hukum tua di Desa Kalasey yang menyatakan bahwa aset tersebut miliknya, warga negara asing memiliki harta tidak bergerak di Indonesia, kemudian dia mengklaim dengan menggungat dan sebagainya itu yang kami laporkan ke imigrasi tapi tidak ada tindak lanjut," tutur Vebry.
Oleh karena itu, Vebry mengaku akan melaporkan kasus tersebut sampai ke presiden, Imigrasi pusat dan juga ke Pemberdayaan Perempuan karena kasus yang dialami JM termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Apa yang dialami bukan hanya itu, sampai minggu lalu JM didatangi oleh oknum polisi yang mengatasnamakan MPW. Sudah dua kali datang, tadinya tidak mengaku sebagai polisi tapi sebagai pengusaha tambang, tapi ternyata terungkap dia seorang oknum polisi.
“Bahkan sempat bicara dengan saya lewat telephone dan dia menawari untuk berdamai dan JM atas diberikan rumah sebagian dari harta itu dan mobil, namun kata saya itu milik JM dan itu bukan perdamaian, karena apa yang dia lakukan dari akhir 2020, JM mengalami tekanan batin karena sering didatangi orang suruhan MPW di rumahnya," kata Vebry.
Untuk itu kata Vebry, persoalan tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh penegak hukum. Dia mengajak aparat kepolisian untuk dudukkan secara objektif persoalan tersebut karena dalam undang-undang tentang kekerasan dan orang membawa parang dan barang tajam, undang-undang darurat juga bisa kena, tapi anehnya persoalan tersebut tidak berlanjut ke proses hukum.
"Demikian juga bagi imigrasi, dengan adanya laporan ke imigrasi, seharusnya pihak imigrasi melihat ada undang-undang imigrasi yang mengatur WNA ketika melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia harusnya dia ditindak. Tapi dipanggil saja untuk dipertemukan dengan pihak kami tidak pernah dilakukan oleh pihak Imigrasi Manado, makanya kami akan melaporkan ini sampai ke pemerintah pusat," tutur Vebry.
Editor : Cahya Sumirat
Artikel Terkait