Apalagi kata Ivanry, alkohol yang dibuat tidak semua juga jadi miras. Tetapi juga dibutuhkan dalam industri farmasi. Karena itu menurutnya ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah. Misalnya, pertama perketat pengawasan dan tindak dengan tegas para pelanggar terkait UU yang sudah existing.
Kedua, menjadikan produksi alkohol dalam negeri berorientasi ekspor untuk kebutuhan industri farmasi/kesehatan. Ketiga, inovasi produk dengan membranding potensi kearifan lokal (seperti cap tikus) berdaya saing ekspor dengan proteksi UU.
“Semoga RUU itu bukan akal-akalan Eropa agar minuman khas alkohol Indonesia tidak bisa kalahkan wine mereka. Bukan titipan Eropa ya, seperti yang terjadi pada CPO, kata Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) BPW Provinsi Sulut tersebut.
Diketahui, DPR bersama dengan Pemerintah sedang mengkaji RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol. Dalam Bab II RUU tersebut, disebutkan sejumlah klasifikasi mengenai jenis-jenis minuman beralkohol yang dilarang.
Pada Pasal 4 Ayat (1) disebutkan, minuman beralkohol yang dilarang diklasifikasi berdasarkan golongan dan kadarnya sebagai berikut:
a. minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH) lebih dari 1-5 persen.
b. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH) lebih dari 5-20 persen; dan c. minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH) lebih dari 20 persen sampai dengan 55 persen.
Sementara Ayat (2) menyebutkan, selain minuman beralkohol berdasarkan golongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), minuman beralkohol yang dilarang meliputi:
a. minuman beralkohol tradisional;
b. minuman beralkohol campuran atau racikan.
Dalam draf RUU tersebut, ada sejumlah pertimbangan perlunya pengaturan tentang minuman beralkohol.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait