Pengucapan Syukur Minahasa Raya Serentak 25 September, Ini Tradisi dan Sejarahnya
Sementara dari masyarakat Toubantik mengenal sistem Poposaden yang berarti gotong-royong. Biasanya keluarga atau kerabat dekat akan pergi bersama-sama memanen hasil kebun tersebut, kemudian hasilnya akan dibagi-bagi kepada keluarga maupun kerabat dekat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas berkat yang melimpah.
Setelah masuknya pengaruh agama Kristen pada masyarakat Minahasa, maka ritual-ritual sudah tidak lagi dilakukan kebanyakan orang. Namun nilai-nilai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hari panen masih melekat sehingga warga desa akan membawa makanan atau hasil pertanian mereka ke geraja, lalu masyarakat akan duduk dan makan bersama.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan, setiap kali suatu wilayah mengadakan pengucapan, maka keluarga ataupun kerabat yang berada jauh di kabupaten atau kota lainnya tetap diajak untuk datang berkunjung untuk merayakan pengucapan.
Di era sekarang ini, tradisi pengucapan syukur mulai bertransformasi sebagai suatu acara pesta makan yang diadakan di halaman gereja dan di rumah-rumah. Berbagai olahanan makanan dari masyarakat disatukan di meja panjang dan kemudian dimakan bersama termasuk juga tamu yang datang dari jauh.
Hal ini menjadi simbol penegas agar masyarakat desa selalu berbagi berkatnya dengan orang lain.
Setelah acara di gereja selesai, warga kemudian kembali ke rumah untuk bersiap menjamu keluarga ataupun kerabat. Hal yang lebih spesial lagi adalah para tamu yang bahkan tidak dikenal bisa berkunjung dan mencicipi makanan yang telah disediakan tuan rumah.
Acara Pengucapan merupakan suatu kebiasaan adat yang spesial sebab selain mengucapkan syukur kepada Tuhan, namun juga menyimpan makna sebagai hari berkumpul dengan keluarga di kampung halaman.
Editor: Donald Karouw