Cerita tersebut ditulis berdasarkan penuturan dari Haremson E. Buku tersebut ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Sangihe, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Namun seperti cerita rakyat umumnya, banyak ditemukan cerita Gumansalangi dalam versi lain. Pasalnya belum ditemukan bukti melalui naskah kuno atau prasasti yang menulis atau memberikan gambaran tentang kehidupan Gumansalangi.
Lalu pendapat Pitres Sombowadile, penulis dan pemerhati masalah perbatasan di Sulawesi Utara, dalam sebuah artikelnya menceritakan adanya pertalian erat antara orang-orang Sangihe Talaud dan orang-orang Filipina Selatan, terutama dengan keberadaan Suku Bangsa Sangil di Mindanao yang berbahasa Sangihe.
Pertalian erat itu terjadi dampak dari keberadaan Pulau Sangihe yang dekat dengan Filipina, tercatat kurang lebih 7.483 orang Sangihe-Talaud yang bermukim di wilayah Republik Filipina. Mereka ada yang tinggal di Provinsi South Cotabato, Davao del Sur, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga, Cotabato City, Davao Oriental, Samal Island di Provinsi Davao, dan Davao City.
Meski demikian terbanyak dari mereka yang menetap di wilayah Filipina yakni berada di Pulau Balut dan Sarangan. Di daratan Filipina, orang Sangihe dan Talaud dikenal dengan beberapa sebutan seperti Sangir, Sangil, Marore, dan Indonesia.
Demikian sekilas cerita Hubungan Leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe yang memiliki sejarah panjang tersebut.
Editor : Cahya Sumirat
Artikel Terkait