Belum Lama Bebas, Perempuan Manado Ini Kembali Didakwa Perkara yang Sama
"Mendapat putusan pada 6 Desember 2017, MS dilaporkan lagi keesokan harinya, 7 Desember 2017 oleh Ansar dengan pokok perkara yang sama. Ironisnya, keterangan ahli hukum dan putusan hakim terdahulu rontok di tangan penyidik Polda Sulut dan tidak disertakan dalam tahapan P21 ke Kejaksaan," ujarnya.
Menurutnya, dalam kasus ini MS sebenarnya hanya dipidana satu kali. Karena Ansar sudah memberikan kesaksian memberatkan di persidangan tahun 2017 yang menyebabkan MS divonis penjara tiga tahun. Mestinya, Ansar menggugat perdata jika merasa ada kerugian.
"Dalam perkara MS ini, unsur yang menegaskan ne bis in idem sangat terang benderang. Terdakwa sudah menanggung putusan hukum. Pidananya tidak boleh dua kali. Harusnya pelapor gugat perdata. Karena semua pihak yang menjadi korban saling terkait," jelas Ronald.
Ronald mencontohkan, kasus First Travel beberapa tahun lalu menimbulkan kerugian ribuan korban. Laporan sejumlah korban di masa itu sudah mengakomodir tuntutan hukum ribuan korban.
"Tidak ada laporan korban kedua dan seterusnya. Bagaimana mungkin ribuan korban harus melapor masing-masing atau dibuat split (terpisah). Apakah nanti terdakwa harus menghadapi ribuan perkara dengan pokok atau peristiwa yang sama? Jelas tidak bisa," tutur Ronald.
Terungkapnya indikasi perkara ne bis in idem ini tampak dalam serangkaian sidang pemerikaan terdakwa, saksi korban, saksi yang dihadirkan terdakwa, dan ahli hukum.
Menurut Ronald, perkara ini jelas menentang Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan azas Ne Bis In Idem.
Kemudian, pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi.
Editor: Cahya Sumirat